Postingan

Bukan Lelaki Impian

Ia datang ketika lagu pembuka sudah dinyanyikan. Pastor dan para petugas liturgi sedang berarak. Karena sedikit keterlambatan itu, ia harus memilih tempat di sebelahku. Biasanya kami tidak ditakdirkan duduk bersama. Tapi kali ini kesempatan itu datang.  Sayangnya aku menduga kalau itu ulah iblis supaya perhatianku tidak tertuju pada Tuhan. Dugaan ini sungguh sangat beralasan karena sejak dia memilih satu bangku denganku, misa hari itu terasa tidak penting. Pikiran macam berkenalan, ngobrol, atau bergandengan tangan sangat ramai di kepala. Sepanjang misa berjalan, pikiran itu mengikuti. Pikiran suci langsung dihancurkan bahkan sejak masih pondasi.  Ketika misa selesai, deret bangku itu menyisakan kami berdua. Hatinya mungkin berdebar-debar kalau-kalau kuajak ia berkenalan. Aku terlalu percaya diri. Sayangnya aku percaya diri hanya di pikiran. Kami tidak berkenalan. Aku permisi dan pergi duluan. Meninggalkannya dan menegaskan bahwa aku bukan lelaki impiannya.

GATAL DI SELANGKANGAN

Di selangkanganmu  rahasia terasa gatal.  Akan ada masa-masa  kau menjadi binal dan bebal.  Pikiranmu menara Babel.  Perasaanmu  nafsu yang membandel.  Tak tersembuhkan bukan  berarti tak ada pengobatan.  Kau tiada mencari.  Kau sibuk birahi.  Jangan anggap candu  sebagai kutukan.  Kau hanya enggan  memandang Tuhan. Sangatta, 2024

DEMOKRASI YANG RUMIT

Data-data saling dilempar.  Demokrasi menghunuskan pedang.  Benci dan caci jadi wabah.  Media sosial menjadi tempat paling sial.  Ada yang tak menerima kekalahan.  Ada yang sudah yakin menang  meski belum sah diputuskan.  Cita-cita bangsa diasingkan.  Persatuan diungsikan.  Semua jadi beringas.  Semua jadi ganas.  Kebenaran ranggas.  Tak ada yang mutlak.

DILUAR BIASANYA

Saya sudah mengalami hal-hal yang diluar biasanya dalam perjalanan iman saya sebagai seorang Katolik. Mulai dari sikap liturgi dalam misa di seminari Hokeng, misa online saat pandemi Corona, sampai tahun ini misa Rabu Abu yang dilaksanakan di hari Selasa, karena tepat pada hari Rabu terjadi pemilu serentak. Kalau soal sikap liturgi selama di Seminari Hokeng, itu bagi saya bagus dilakukan di semua Paroki. Berlutut dilakukan pada saat pernyataan tobat, Tuhan Kasihanilah, doa pembuka, doa syukur agung, Anak Domba Allah, dan doa penutup. Yang mengganjal hati saya ialah dua yang lainnya. Misa Online pada saat Corona. Rasanya hambar. Kalau kehadiran Kristus sungguh nyata dalam Ekaristi, bukankah itu harusnya menarik kita untuk tetap misa seperti biasanya? Misa offline maksud saya.  Penerimaan Abu pada hari Selasa kali ini karena Pemilu. Bukankah waktu pelaksanaan pemilu itu hanya pagi sampai siang? Kenapa misa penerimaan Abunya tidak dilaksanakan di Rabu malam? Ini hanyalah pertanyaan-pertan

ADA HUJAN SEBELUM IBADAT

Ada hujan sebelum ibadat.  Malam kian sejuk.  Niat kian ambruk. Ada hujan sebelum ibadat.  Aku sedikit terlambat.  Syukurlah hati tak tersesat. Ada hujan sebelum ibadat.  Tapi tidak ada hujan setelahnya.  Yang ada ialah ibadat lainnya.

SOAL KOMITMEN

Di Instagram, seorang Pastor berbicara soal komitmen kepada kedua mempelai di hadapannya. Di kolom komentar malah ada yang berujar, "Dia saja tidak menikah, mana tahu susahnya hidup berumahtangga." Komentar itu sangat tepat. Seorang Pastor mengambil sumpah untuk hidup selibat. Itu artinya tidak menikah. Tapi komentar semacam itu agaknya merendahkan nilai sebuah komitmen. Hanya karena seorang Pastor tidak menikah, bukan berarti dia tidak tahu berkomitmen. Sumpah hidup selibat juga merupakan sebuah komitmen. Bahkan menurut saya, berkomitmen terhadap kehidupan semacam itu jauh lebih sulit ketimbang hidup pernikahan. Bayangkan, seorang lelaki normal harus hidup tanpa menikah. Dia punya ketertarikan terhadap lawan jenis, tentu saja, namun harus ia lepaskan demi pelayanan total kepada Tuhan. Ia tidak merasakan yang namanya bercumbu dengan perempuan. Ia tidak bisa menyimpan harta sendiri. Ia harus siap ditempatkan di manapun, meskipun tempat perutusan itu jauh dari keinginannya. Jug